Senin, 13 Juli 2009
Menebar Cinta di Jalan Raya
Sabtu malam di atas pukul dua belas, jika kita main-main ke daerah Margonda, Depok, di sana berjejer klub-klub dengan berbagai nama dan merek motor, mulai dari skubek matik seperti Mio, sampai jenis yang lebih besar.
Begitu juga pemandangannya kalau kita jalan-jalan di sepanjang Jalan Raya Fatmawati. Tapi ini baru sebagian yang ada di kisaran kawasan Jabodetabek, belum yang lain. Anak-anak biker ini berkumpul berjejer rapi dengan aksesori lengkap, baik di baju, maupun di motor masing-masing.
Jaket motor, kulit atau parasut, menjadi pakaian wajib—itu kalau tidak mau masuk angin—begitu juga dengan sarung tangan, dan helm berbagai rupa. Ada juga yang bergaya pakai tanduk warna-warni di kepala. Atau malah serba pink dan gambar hati karena 14 Februari nanti adalah Hari Kasih Sayang dan jatuhnya tepat pada hari Sabtu—waktunya kumpul-kumpul. Yah, gaya apa saja boleh. Tidak ada yang ngelarang.
Lalu motornya ada yang standar, ada yang dibuat pendek ala lowrider atau ala touring yang lengkap dengan bagasi menempel di buntut motor. Pada malam itulah saatnya bagi para biker untuk bergaya, tampil keren di malam hari.
Sama rasa, sama gaya, sama asiknya, dan sama kerennya. Setelah semua anggota berkumpul, mereka akan jalan-jalan keliling kota dan “dan menebar cinta di jalan raya” dengan membunyikan klakson berbagai bunyi untuk “menyapa” ketika berpapasan dengan klub lain.
Bukan sekadar buat menyapa klub lain. Mereka yang touring ini memang hanya ingin jalan-jalan keliling kota dan keliling ke mana pun mereka mau pergi. Alasannya? Ya cuma ingin jalan-jalan, “menebar cinta” dengan melihat-lihat tampilan kota waktu malam hari, dan membelah kabutnya. Ya kalau enggak cinta, mana mungkin mereka melakukan hal yang sama, bela-belain masuk angin minimal satu minggu sekali.
Cinta di jalan
Mungkin ada yang menganggap kalau touring adalah tren tahun 2000-an. Bisa jadi ada benarnya. Namun ternyata, cikal bakal acara “menebar cinta di jalan raya” ini sudah berlangsung sejak lebih kurang seratus tahun yang lalu.
Cikal bakal acara itu tepatnya dimulai pada kisaran tahun 1890, dan ini bukan di luar negeri, melainkan di Tanah Air kita tercinta ini. Bedanya, kalau para bikers zaman sekarang wangi parfum—apalagi kalau malam Minggu—zaman itu, wangi para biker-nya mungkin agak bercampur aroma perkebunan atau mungkin sari gula. Soalnya, mereka ini kebanyakan adalah pengusaha perkebunan dan petinggi pabrik gula, dan tentu saja kebanyakan orang Belanda, dan sebagian Inggris.
Dalam catatan waratawan Kompas, James Luhulima, yang mengutip buku Krèta Sètan (De Duivelswagen), klub motor di Tanah Air sudah ada pada kisaran tahun 1900. Ini terlihat dari iklan-iklan motor di surat kabar pada kurun waktu dari tahun 1916 sampai 1926. Ada catatan kecil yang menarik bahwa salah satu klub motor itu pernah berfoto dengan tulisan Bragaweg (Jalan Braga), Bandoeng. Foto ini dibuat tahun 1914.
Lalu, para menir-menir ini kalau sudah kumpul kemudian mau apa? Pertanyaannya lagi-lagi sama dan jawabannya lagi-lagi sama. Mereka akan jalan-jalan keliling desa. Tapi mungkin tidak waktu malam hari karena suara motornya berisik dan mengganggu orang satu kampung.
Pengendara motor memang maunya berkendara terus, dan sepertinya ini adalah naluri. Maka, pernah pada suatu saat, beberapa orang berlomba-lomba memecahkan rekor perjalanan rute Jakarta-Surabaya atau dikenal dengan “Lintas Jawa”.
Orang “nekat” pertama yang berhasil membukukan rekor perjalanan menempuh rute Batavia, Bandung, Semarang, Blora, Cepu (Tjepu), dan Surabaya ini adalah Gerrit de Raadt. Ia menempuh perjalanan yang berjarak 850 kilometer itu dengan catatan waktu 20 jam dan 45 menit. Aksi “nekatnya” ini ia lakukan pada tahun 1917.
Pada tahun yang sama, tepatnya sepuluh hari setelahnya, 16 Mei 1917, Frits Sluijmers dan Wim Wygchel yang secara bergantian mengendarai sepeda motor melewati rekor catatan waktu tempuh Gerrit de Raadt, lebih cepat 21 menit. Mereka mencatat waktu 20 jam dan 24 menit, dengan kecepatan rata-rata 42 kilometer per jam.
Lama kelamaan, makin banyak biker yang penasaran dan mencoba memecahkan rekor “Lintas Jawa” ini. Seiring dengan munculnya motor yang teknologinya makin mutakhir, maka waktu tempuh pun makin meningkat. Angka terakhir pemecahan rekor ini pada masa yang tidak jauh berbeda adalah Goddy Younge yang berasal dari Semarang. Pada 24 September 1917, ia—yang pernah coba memecahkan rekor itu dan kalah oleh Barend ten Dam (15 jam dan 37 menit)—mengukir rekor lagi dengan catatan waktu 14 jam dan 11 menit, dan kecepatan rata-rata 60 kilometer per jam. Mereka semua “menebar cinta” dengan caranya sendiri: bersaing secara sportif.
Kalau kita bandingkan dengan kondisi sekarang, 14 jam dan 11 menit Jakarta-Surabaya memang tidak masuk akal. Waktu itu pastinya Barend ten Dam enggak perlu pusing saingan dengan bus-bus antar-kota antar-provinsi (AKAP) yang suka “makan” jalan bahkan “makan” bahu jalan.
Biarpun begitu, motor touring lintas Jawa masih tetap dilakukan hingga sekarang.
Motor masih jadi primadona karena ukurannya yang cenderung lebih kecil ketimbang mobil. Kalau kita melihat kondisi sekarang, motor, apalagi skubek matik yang ramping, bisa menjadi “pahlawan” di kala macet karena bisa memanfaatkan jalan yang kecil, sementara para produsen mobil masih berlomba-loma membuat model yang paling kecil dan kompak tapi harus juga terlihat menarik.
Kendati demikian, pengendara motor kerap menjadi bahan kekesalan para pengguna jalan. Penyebabnya mulai dari “cuma senggol spion”, knalpot berisik, sampai aksi minta jalan pada saat touring yang terkadang terkesan tidak sopan dan sombong. Rasa-rasanya, “menebar cinta di jalan” tidak akan terlihat pada kondisi-kondisi yang semacam itu. Kebiasaan serba terburu-buru—mungkin karena bangun kesiangan, dan bangun kesiangan karena malamnya begadang—kerap menjadikan orang serba terburu-buru dan memunculkan kasus-kasus semacam itu. Demikian juga dengan rasa sombong pada touring itu karena mungkin mentang-mentang banyak teman. Andai saja mereka bisa tertib.
Walaupun demikian, sekarang ini mulai banyak pengendara motor tetap “menebar cinta” tanpa sadar, khususnya pada lingkungan. Itu karena mereka memakai motor zaman sekarang yang sudah memakai sistem pembakaran 4 tak. Untuk yang satu ini, berterimakasihlah kepada seorang pria Jerman bernama Nicolaus Otto.
Berkat penyempurnaannya, ia membuat mesin motor yang tidak lagi bercampur dengan oli. Pada mesin ini, tempat bensin dan oli terpisah sehingga saat pembakaran (4 langkah) tersebut, bensin yang bercampur dengan udara terbakar dengan sempurna dan tidak menyisakan asap yang membumbung. Teknologi yang ia buat di masa 1800 akhir ini masih tersemat dan makin disempurnakan di motor-motor modern saat ini, termasuk pada hampir semua produk Yamaha.
So, “Menebar cinta” definisinya jadi macam-macam ya. Yang di atas tadi, baru sebagiannya saja. Lalu, ngomong-ngomong, Valentine Februari nanti mau jalan-jalan ke mana? Ke mana pun itu, apakah pergi sambil memboncengi pacar, atau sama teman-teman, jangan lupa, tetap “menebar cinta di jalan raya” bagaimanapun caranya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kalau dulu ada istilah "Menebar Cinta".ibarat lagi nanem benih, sekarang sudah bermunculan buah nya, contoh saja. buah cinta munculnya punggawa2 komunitas bikers, yang dengan semangat 45,berusaha mengkomandoi SR.Tenang bro.. SR bukan Sekolah Rakjat, tapi SR itu....nah betul! ohh belum yaa, SR itu, Safety riding.
BalasHapus